Ketua Umum PBSI periode 2004-2008, Sutiyoso, menyebut selama masa kepengurusannya dana yang dihabiskan sebesar Rp 50 miliar, yang berasal dari sumbangan donatur, kerja sama dengan sponsor, dan bantuan pemerintah. Hal ini diungkapkan setelah Markis Kido/Hendra Setiawan meneruskan tradisi emas di Olimpiade Beijing 2008.
Angka tersebut cukup fantastis, tetapi masuk akal jika melihat kegiatan yang harus diikuti pemain serta kebutuhan yang dipenuhi oleh PBSI. Sepanjang 2008, dalam kalender BWF terdapat 13 turnamen super series, 7 gold grand prix, dan 8 grand prix. Ini belum termasuk turnamen yang tingkatannya lebih rendah seperti satelit atau international challange.
Butuh dana sekitar Rp 50 juta per orang untuk mengirimkan pemain atau pelatih ke turnamen yang digelar di Eropa. Memang tak semua turnamen digelar di Eropa dan tak semua turnamen diikuti pemain pelatnas. Namun, tetap saja pengiriman pemain ini menjadi penyedot dana terbesar kas PBSI. Kabid Binpres PBSI, Lius Pongoh, menyebut gambaran kasar sekitar Rp 10-15 miliar tersedot untuk pengiriman pemain senior tiap tahun.
Artinya pemain junior atau pratama belum tentu kebagian jatah tanding di turnamen internasional. Belum lagi pengeluaran untuk operasional sehari-hari. Misalnya untuk pengadaan kok yang nilainya bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan untuk memenuhi kebutuhan latihan 85 pemain di pelatnas.
Di masa kepengurusan Ketua Umum Djoko Santoso 2008-2012, angka ini pasti membengkak karena pengaruh krisis dunia. Perlu perencanaan yang matang dan cermat agar prestasi atlet kita bisa tetap terjaga.
Karena menjadi penyedot dana terbesar, proses pemilihan pemain yang dikirim ke turnamen harusnya dilakukan dengan lebih cermat. Mengirim pemain yang benar-benar punya peluang menjadi juara ke turnamen yang membutuhkan biaya mahal seperti di Eropa adalah langkah bijak untuk penghematan.
Jika ingin melepas banyak pemain, mungkin lebih baik dilakukan di turnamen yang digelar di kawasan Asia, yang biayanya lebih murah. Termasuk memberi pengalaman pada pemain junior dan pratama.
Dana Sponsor
Soal penggalangan dana, rasanya PBSI tak bisa lagi hanya mengandalkan donatur atau sponsor tunggal. Rasanya mustahil pemain juara yang bercokol di pelatnas Cipayung tak laku dijual ke pihak sponsor.
Di Malaysia, bagian dada di kaus Lee Chong Wei dkk. dihiasi produk Proton. Industri otomotif milik Malaysia ini menyuntikkan dana 5 juta ringgit (sekitar Rp 16 miliar) per tahun ke Asosiasi Bulutangkis Malaysia (BAM).
Cina memiliki cara lain yang cerdas dan adil untuk menjual juaranya. Ada tiga jenis pemain yang dijual pada sponsor.
Dada pemain kelas utama seperti Lin Dan atau Xie Xingfang dihiasi produk Fedex. Pemain lapis kedua seperti Wang Yihan atau Li Yu disokong produk lokal Kason.
Level terakhir yang dijual adalah pemain junior dengan sponsor yang berbeda lagi. Secara logika, uang yang diterima untuk menjual pemain sekelas Lin Dan pasti lebih besar dibanding pemain junior.
Cara ini layak ditiru oleh PBSI. Tak mungkin terus-menerus mengharapkan donatur untuk membantu. Di masa susah seperti sekarang, siapa yang bisa menjamin donatur bakal datang dan memberikan dana dengan cuma-cuma?
Sudah saatnya PBSI berlaku cerdik dalam menggalang dana dan membina hubungan baik dengan sponsor. Jangan sampai sponsor yang sudah menawarkan kerja sama malah kecewa karena harapan mereka meleset.
(Sumber: Bolanews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar