19 November 2008

TAN JOE HOK


Kisah Tan Joe Hok, legenda hidup badminton Indonesia akan segera
difilmkan. Ternyata perjalanan panjangnya bermula dari Pasir Kaliki,
Bandung, di lingkungan yang serba sulit di zaman perang.
AKHIR bulan lalu, Tan Joe Hok menemui Wakil Gubernur Jabar Yusuf Macan
Effendi atau Dede Yusuf. Intinya, Tan Joe Hok minta dukungan moril
menjelang pembuatan biopic (biographical pictures) dirinya.
Produser filmnya Olivia Zalianty, gadis muda yang baru saja
menyelesaikan studi di Beijing. Adik aktris Marcela Zalianty ini
menggandeng Raden Kholid Akhmad dari Tremores Production. Film akan
disutradarai Wiendy Widasari, dan syuting mulai awal 2009.
"Saya lahir di tempat kumuh, lewat tangan dukun beranak. Hidup
keluarga kami di masa kecil sangat menderita, karena ketika itu zaman
revolusi. Bagi kami, apa yang kami bisa lakukan untuk negara ini, akan
kami perbuat, meski kecil," tutur Tan Joe Hok di depan Dede Yusuf.
Keduanya bertemu di kantor Dede di Gedung Sate, Senin (30/6). Upaya
Tan tak bertepuk sebelah tangan. "Sudah sepatutnya, tokoh-tokoh bangsa
diangkat ke film, apalagi Pak Tan juga putra Jabar. Ini agar anak muda
tahu, siapa yang telah berjuang untuk bangsanya," kata Dede.
Tan Joe Hok alias Hendra Kartanegara adalah pebulutangkis Indonesia
pertama yang turut menyabet All England dan medali emas Asian Games.
Selain itu, ia merupakan anggota tim bulu tangkis Indonesia ketika
merebut Piala Thomas 1958, gelar pertama bagi Indonesia.
Namun, Tan yang masih gagah, antara lain berkat rajin fitnes itu,
keberatan dirinya disebut pahlawan. "Saya menolak dikultuskan. Tapi,
saya setuju ada film ini, semoga bisa membangkitkan semangat
perjuangan anak muda," kata pria kelahiran Babatan, Bandung, 11
Agustus 1937 ini.
Selain bertatap muka dengan Dede, Tan dan tim produksi film Tan Joe
Hok, pada hari itu, melakukan napak tilas ke tempat-tempat yang pernah
jadi bagian dari perjalanan hidup Tan di Bandung.
Napak tilas ini untuk melengkapi skenario film yang digarap Salman
Aristo mulai September 2008. Di kediaman kakak Tan Joe Hok, Tan Li Lan
alias Lanny Hartanto (74), di kawasan Pasir Kaliki, Tan Joe Hok sangat
terharu saat bertemu dengan sahabat lamanya, Tutang Djamaluddin (73).
Dia juga bertemu teman sepermainannya, Lim Tjoen Liat alias David
Lukman. Tutang, yang juga mantan atlet bulu tangkis nasional, adalah
teman Tan berlatih bulu tangkis di Klub Pusaka dan di Pelatihan Tenaga
Kerja di Jalan Gatot Soebroto, Jakarta tahun 1950-an.
Kini, klub Pusaka sudah jadi tempat pemotongan ayam. Napak tilas hari
itu berakhir di rumah mendiang orangtua Tan, pasangan Tan Tay
Peng-Khoe Hong Nio, di Jalan Gedong Sembilan No 9, Pasir Kaliki,
Bandung. Rumah tersebut saat ini ditempati adik Tan.
"Cerita hidup Pak Tan ini menarik karena ada sisi dramatisnya.
Hebatnya, Pak Tan tak butuh motivator dan pelatih, tapi dia maju
karena dirinya," kata Wiendy.
Salah satu penggalan masa lalu Tan adalah kisahnya berlatih
bulutangkis bersama Tutang Djamaluddin. Setiap akan berlatih bulu
tangkis, Tan dan Tutang naik sepeda ontel dari rumah masing-masing
sambil memegangi raket tak bersarung dan tiga kok yang dibungkus
kertas koran.
Di usia 17 tahun, Tan Joe Hok mulai mengikuti kejuaraan-kejuaraa
tingkat nasional. "Setiap bertanding, kita pergi naik kereta gerbong
karena lebih murah. Padahal sengsara," kenang Tan. Saat itu, Tan sudah
mengalahkan pemain senior, Nyoo Kim Bi asal Surabaya.
"Karena budget pemerintah pas-pasan, saya jadi pemain single dan
double. Prinsip saya, harus jadi juara pertama, karena juara dua itu
loser nomor satu dan juara tiga loser nomor dua," tutur Tan.
Setelah itu, pemerintah baru membentuk Tim Thomas terdiri atas Eddy
Yusuf, Tan King Wan, Nyoo Kim Bi, dan Li Po Jan, Thio Tjoe Dyen, Tan
Ti Abeng, dan pemain tambahan yang didatangkan dari Belanda, Ferry
Souneville.
"Kemenangan kita membuat Indonesia mulai dipandang oleh dunia luar.
Karena selama ini, kita underdog. Yang ditakuti kan tim Denmark," kata
Tan. Berkat kejeniusannya, Tan meraih beasiswa kuliah jurusan teknik
mesin di Texas, Amerika Serikat, mulai tahun 1958.
Namun demikian, Tan masih siap jika pemerintah Indonesia sewaktu-waktu
memanggilnya pulang. Di masa Orde Baru, semua warga etnis Tionghoa
diharuskan ganti nama. Pangdam Siliwangi HR Dharsono saat itu, memberi
nama baru pada Tan, yakni Hendra Kertanegara.
"Yang penting tetap ada Tan-nya," ujar Tan. Maka, di Asian Games 1962,
Tan sudah ganti nama. "Yang menarik, Tan merasa sakit hati dengan
banyaknya peraturan pemerintah yang dinilainya tak masuk akal terhadap
warga keturunan, sehingga berkali-kali bilang mau gantung raket. Tapi,
setiap ada panggilan untuk membela negara, dia selalu siap. Jadi, isu
rasisme memang tak bisa dihindari di film ini," ujar Salman Aristo,
penulis skenario film Tan.
"Bahkan, tahun 1964, dia seharusnya bisa dapat titel S2 di Amerika,
karena tinggal empat SKS lagi, tapi dia memilih kembali ke Indonesia.
Ketika itu, Indonesia sedang bergejolak. Jika saat itu sebagian orang
memilih kabur keluar negeri, Pak Tan malah pulang. Pak Tan bilang,
kurang Indonesia apa saya ini," kata Kholid, produser film Tan.
Namun, kata Salman, film ini tetap dibumbui kenakalan dan kelucuan
anak remaja, termasuk kisah asmara Tan. "Sebelum tahun 1956, kita
masih latihan bareng di Bandung. Selesai latihan suka main jelangkung.
Pas Tan tanya ke jelangkung, dia nanti bakal jadi apa, eh
jelangkungnya nulis jadi juara. Bener deh, dia jadi juara terus,"
kenang Tutang.
Kemenangan pertama tim Indonesia di Thomas Cup pun disambut meriah
dengan tabuhan bedug di masjid dan lonceng di gereja dan disiarkan di
radio. "Tim pemenang ini juga diarak dari Jakarta ke Bandung, lewat
Puncak," kata Tutang, karib Tan Joe Hoek di masa muda.

1 komentar:

  1. Pak Tan, jika Jonatan Christie bapak klinik bersama sdr Rudy Hartono mungkin bisa jadi motor Thomas Cup lagi.

    BalasHapus