Olimpiade Beijing 2008 menunjukkan bagaimana negara-negara besar membangun olahraganya. Cina sukses menjadi peringkat pertama Olimpiade 2008 dengan 51 keping emas. Amerika Serikat kali ini harus puas berada di peringkat dua dengan 36 emas. Namun, Amerika masih unggul dalam jumlah pengumpulan medali, 110 medali. Baik Cina, AS, Rusia, Inggris, Jerman, maupun Australia memiliki program atlet andalan yang direncanakan dan terorganisasi secara sistematis.
Sejak politik diplomasi pingpong tahun 1971 serta kembali diterimanya Cina sebagai anggota IOC tahun 1979 sejalan dengan kebijakan politik luar negeri Cina untuk membuka diri dengan dunia internasional, maka Cina langsung bertekad untuk menjadi yang terbaik di Olimpiade. Untuk itu, Cina meluncurkan program atlet andalan dengan sebutan “juguo tichi”. Dalam hal ini, kendali manajemen pelatnas sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat dan seluruh pemerintah daerah diwajibkan mendukung program ini.
Hal pertama yang dilakukan Cina adalah membangun fasilitas latihan yang dilengkapi dengan peralatan modern dan laboratorium untuk penerapan iptek olahraga, termasuk fasilitas olahraga di sekolah dan perguruan tinggi. Dengan menyesuaikan postur kebanyakan orang Cina, maka mereka fokus pada cabang olahraga yang membutuhkan refleks, kecepatan dan kelenturan tinggi, seperti senam, tenis meja, bulutangkis, dan loncat indah, serta beberapa cabang yang sangat tergantung pada penilaian juri.
Melengkapi program tersebut, mulai tahun 2001 Cina juga meluncurkan program 119 yang lebih difokuskan pada beberapa cabang yang bukan jadi unggulan Cina tetapi jumlah medali emas yang diperebutkan sangat banyak, yaitu mencapai 119 emas. Termasuk dalam program 119 ini antara lain cabang atletik, renang, layar, dan kano. Untuk mencapai ambisi tersebut, Cina menyediakan dana sebesar US$ 4,8 miliar di mana 90% digunakan untuk membayar uang saku atlet dan pelatih serta perlengkapan latihan.
Program atlet andalan juga menjadi perhatian serius pemerintah Australia. Sejak tahun 1981 pemerintah Australia membangun fasilitas pemusatan latihan modern di Canberra yang diberi nama Australia Institute of Sport (AIS) di atas tanah seluas 65 hektar. Dilengkapi dengan laboratorium penelitian dan medis, AIS mulai membina 150 calon atlet andalan dari beberapa cabang, seperti renang, atletik, angkat besi, senam, bola basket, bola tangan, sepakbola, dan tenis.
Setiap tahun AIS merekrut 600 atlet dari 25 cabang olahraga untuk ditempa menjadi atlet dunia dengan dukungan dana dari pemerintah dan pihak swasta. “Sport is the first form of Australian foreign policy”.
Keberhasilan Australia itu ditiru Inggris, yang pada 1999 meluncurkan dua program untuk mempercepat prestasi atlet Inggris di Olimpiade. Pertama, membangun pusat latihan modern UK Sport Institute (UKSI) di 10 daerah. Kedua, meluncurkan program World Class Performance, yang fokus pada penggalangan dana baik melalui sponsorship maupun undian berhadiah.
Sementara itu, pembinaan atlet di AS selalu berkaitan dengan pendidikan. Kompetisi olahraga antarsekolah dan universitas sangat padat dan seorang yang ingin menjadi atlet disyaratkan memperoleh nilai baik dalam pelajarannya.
Pembinaan olahraga melalui sekolah dan universitas dikoordinasi oleh National Collegiate Athletic Association (NCAA), yang didirikan pada 1906. Para atlet dibina untuk menjadi atlet dunia, Olimpiade, dan profesional. Para atlet tersebut bisa saja menerima sponsor pribadi. Tiger Wood, Shaquille O’Neal, Lindsay Davenport, Michael Phelps adalah atlet-atlet yang selain menapak karier di olahraga, juga tetap bersekolah di perguruan tinggi.
Atlet Andalan Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Sejak berakhirnya SEA Games 2007, pemerintah mencanangkan program atlet andalan (PAL). Diperkirakan ada 100 atlet andalan yang dipersiapkan untuk menghadapi SEA Games 2011. Biaya yang dibutuhkan untuk mempersiapkan atlet tersebut bisa mencapai Rp 700 miliar. Karena untuk 2011, jelas targetnya adalah meraih kembali kejayaan Indonesia sebagai negara terbaik di Asia Tenggara dalam bidang olahraga.
Ada beberapa kelemahan dari program ini. Pertama adalah mengapa defining victory hanya di tingkat SEA Games dan bukan Olimpiade? Selama ini memang tidak jelas fokus utama pemerintah dan KONI/KOI. Kita semua tahu bagaimana minimnya persiapan atlet dalam menghadapi Olimpiade Beijing 2008. Peluang Lisa Rumbewas mengukir sejarah dengan menjadi atlet pertama Indonesia yang meraih medali di 3 Olimpiade gagal karena kurang bertanding.
Tidak jelasnya fokus dan prioritas pemerintah dan KONI/KOI juga terlihat dari keputusan menjadi tuan rumah Asian Beach Games (ABG), 18-25 Oktober 2008 di Bali. Dana yang dibutuhkan untuk olahraga yang sifatnya rekreasi dan hiburan ini bisa mencapai lebih dari Rp 300 miliar. Untuk penyelenggaraan, pemerintah membantu dana sekitar Rp 150 miliar, sementara untuk pemusatan latihan sekitar Rp 21 miliar. Padahal untuk Olimpiade 2008 pemerintah hanya mengalokasikan Rp 35 miliar. ABG, yang diselenggarakan di tepi pantai, di mana prestasi dan rekam jejaknya pun akan hilang tertiup angin, malah mendapat dukungan dana yang lebih besar daripada persiapan Olimpiade.
Kedua, di manakah 100 atlet andalan Indonesia berlatih? Sejak berubahnya kompleks olahraga Senayan menjadi pusat perbelanjaan, Indonesia praktis tidak memiliki pusat latihan nasional yang terpusat di satu lokasi, berfasilitas modern termasuk peralatan, laboratorium, dan medis.
Ketiga, struktur dan personel yang duduk di program atlet andalan kita ternyata tidak penuh waktu. Bahkan banyak personel yang merangkap jabatan di induk organisasi dan KONI/KOI. Proses pembinaannya pun bisa akan kita duga. Selain tidak fokus, juga terjadi konflik kepentingan karena ingin mengajukan cabang dan atletnya sendiri ikut dalam program ini.
Keempat, program atlet andalan adalah puncak dari proses pembinaan atlet. Mereka dapat dikategorikan sebagai atlet yang dilatih untuk memenangkan setiap pertarungan (train to win). Pertanyaannya, bagaimana dan apa program pemerintah dalam pembinaan atlet di akar rumput (fundamental train), yaitu di sekolah-sekolah dasar dan menengah?
Kelemahan-kelemahan mendasar di atas mestinya sudah harus ada jawabannya terlebih dulu baik oleh pemerintah maupun KONI/KOI sebelum meluncurkan meluncurkan program atlet andalan. Karena itu, petinggi olahraga di Indonesia harus sepakat dulu tentang model percepatan prestasi atlet yang akan diterapkan. Model apa pun yang diambil harus dimulai dari menentukan defining victory dari pembinaan atlet andalan yang tertinggi. Janganlah ambil model di mana defining victory karena ambisi pribadi. Inilah yang membuat olahraga Indonesia semakin ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.
(Sumber: Bolanews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar