Kepengurusan PBSI periode 2008-2012 yang dipimpin Ketua Umum Djoko Santoso memiliki tugas berat, yakni meneruskan tradisi prestasi cabang unggulan Indonesia. Apalagi jika mengingat krisis global sedang menggoyang semua faktor tanpa terkecuali.
Untuk mengantisipasi krisis, sejumlah langkah perubahan ditempuh PBSI. Salah satu cara yang dipilih adalah dipangkasnya jumlah pemain yang dipanggil ke pelatnas. Cara lain adalah tidak dipenuhinya permintaan pemain yang menginginkan kenaikan nilai kontrak.
Namun, perubahan memang tak pernah mudah. Dari dua hal ini, langkah kedua yang akhirnya memicu kontroversi karena beberapa pemain sempat mengancam untuk keluar meski akhirnya kembali ke pelatnas. Tapi, ada pula yang akhirnya benar-benar mengundurkan diri dan memilih untuk tetap berkarier secara mandiri.
Di tengah seretnya regenerasi, keluarnya beberapa pemain senior yang sudah dipanggil adalah hal yang merugikan. Namun, PBSI agaknya tak mau memperlihatkan preseden buruk jika memberikan perkecualian dengan menuruti permintaan kenaikan kontrak.
Saya tak berniat untuk berpihak pada siapa pun. Pemain pasti menginginkan adanya kenaikan kontrak. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik adalah hal yang manusiawi. Jika sudah menghabiskan sebagian besar waktu hidup dan total menggantungkan harapan pada bulutangkis, tentu pahit rasanya jika saat negosiasi kontrak hanya mendengar kata-kata pilihan ''teken atau keluar''.
Sebaliknya, pengurus PBSI juga memiliki tugas yang tak ringan. Mereka dituntut untuk membuat atlet menghasilkan prestasi dan tetap tak kehabisan dana, seperti yang sudah terjadi di akhir masa kepengurusan lalu.
Perbedaan kepentingan yang rawan menimbulkan konflik memang biasa terjadi. Tapi, yang perlu diingat adalah hubungan yang saling membutuhkan antara PBSI dan pemain. Hubungan kedua pihak ini rasanya layak dianalogikan seperti orangtua dan anak.
Kalau mau jujur, gejolak yang terjadi ini berpangkal dari masalah komunikasi. Sebagai pihak yang berperan seperti orangtua, pengurus PBSI seharusnya bisa lebih bijak dan bersahabat untuk menyampaikan penolakan terhadap permintaan pemain.
Sebaliknya, pemain juga harus bisa mengukur kemampuan prestasi dan nilai jualnya. Jangan hanya berani meminta kenaikan nilai kontrak, tapi tak berani menerima tantangan untuk berprestasi melebihi target.
Tolok Ukur AE-Swiss
Sayang memang komunikasi tak berjalan lancar sehingga beberapa pemain yang sebetulnya masih dibutuhkan akhirnya mundur dari pelatnas. Nasi sudah menjadi bubur. Langkah PBSI harus tetap didukung. Setidaknya, ada sisi positif yang bisa diambil dari gonjang-ganjing pada awal 2009.
Kepergian pemain yang memutuskan mundur tak perlu diratapi lagi. Justru sebaliknya, harus dijadikan alat pemacu untuk menghasilkan pemain yang lebih baik.
Turnamen Super Series All England (3-8 Maret) dan Swiss (10-15 Maret) akan menjadi ujian pertama buat PBSI. Kebetulan pemain yang baru saja mundur seperti Taufik Hidayat, Hendra Gunawan, dan Alvent Yulianto turun di All England dan Swiss.
Hasil yang mereka capai setidaknya bisa menjadi tolok ukur buat pemain pelatnas dan pengurus PBSI. Jika Taufik cs. dan eks pemain pelatnas lain memetik hasil yang lebih bagus, artinya latihan lebih keras harus dilakukan pasukan Cipayung.
Tapi, jika skuad Cipayung tetap bisa berprestasi lebih baik, juga tak perlu besar kepala. Pasalnya di luar sana masih banyak lawan yang lebih tangguh yang pasti akan menghadang.
(Sumber: Bolanews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar