Pada sebuah Talk show tentang kebangkitan bulutangkis Indonesia, pelatih Pelatnas Hendrawan mengingatkan publik untuk tidak mudah memvonis seorang atlet dianggap mentok prestasi. Hal ini berkaitan dengan prestasi tunggal putra, seperti Sony dan Simon yang belum menunjukkan prestasi besar. Hendrawan menyatakan bahwa kematangan seorang pemain pada usia berbeda-beda.
Kematangan seorang pemain yang lebih dikenal dengan usia emas dalam bulutangkis lazimnya sudah terlihat dari umur 19 sampai 23 tahun. Sebagai contoh pasangan Markis Kido / Hendra Setiawan sudah mampu meraih gelar turnamen sekelas Indonesia Open di umur 21 tahun dilanjutkan dengan juara dunia dua tahun berikutnya dan berlanjut ke emas Olimpiade. Seorang yang sangat berbakat seperti Taufik Hidayat sudah mampu merebut gelar Grand Prix pertama-nya diusia 17 tahun dan menjuarai Indonesia Open 1999 saat menginjak usia 18 tahun. Demikian halnya dengan Susi Susanti yang kelahiran 11 Februari 1971 berhasil meraih gelar dilevel senior pada tahun 1989 dengan menjuarai invitasi Piala Dunia dan Indonesia Open. Bahkan Mia Audina sudah memulai masa emasnya diumur 15 tahun ketika menjadi tulang punggung tim Uber Cup Indonesia.
Kebanyakan pemain besar dunia sudah mulai meraih prestasi tinggi sebelum usia 23 tahun. Fenomena tersebut menjadikan anggapan umum bahwa tidak berprestasi di usia-usia tersebut maka dikatakan pemain tersebut sudah mentok alias tidak mungkin berprestasi lebih tinggi lagi. Bahkan banyak pemain pelatnas harus terbuang atau memilih jalan lain karena mitos tersebut.
Mitos yang tercipta karena pengalaman masa lalu tidak bisa disalahkan. Tetapi tidak bisa menganggap semua pemain tidak berpotensi karena usia-nya tidak muda lagi. Hendrawan semasa menjadi pemain mengalami masa-masa sulit dalam mencetak prestasi Internasional. Hendrawan meraih gelar Grand Prix diatas bintang Empat pertama-nya pada usia 25 tahun saat Thailand Open 1997. Sedangkan gelar juara dunia diraih pada usia 29 tahun. “Kalau kondisi seperti pelatnas sekarang belum bisa berprestasi sebelum umur 25 pasti sudah dikeluarkan”, Ungkap Hendrawan. Pada kesempatan yang sama, Joko Suprianto mengungkapkan hal serupa. Untungnya saat itu, Joko Suprianto bisa bertahan walaupun prestasinya telat dibandingkan rekan-rekannya seangkatannya seperti Ardi Wiranata, Alan Budi Kusuma dan Hermawan Susanto. Apalagi dibandingkan dengan rekannya yang lebih muda Hariyanto Arbi. Seandainya Joko Supriyanto menyerah saat ketika itu maka kita tidak mungkin mengenalnya sebagai sang juara dunia. Dengan tekad yang kuat pemain-pemain seperti Joko dan Hendrawan bisa berprestasi maksimal walaupun diusia terlambat untuk memulai prestasi.
Kasus lain yang menguatkan bahwa usia bukanlah rintangan untuk menapaki level atas prestasi ditunjukkan oleh pemain putri Denmark Tine Rasmussen. Pemain kelahiran 21 Juli 1979 itu menghancurkan tembok putri-putri China dengan meraih gelar juara Japan Superseries 2007. Sebelumnya nama Tine kurang dikenal karena hanya mampu juara diturnamen-turnamen kecil. Hebatnya kemunculan Tine bukanlah prestasi sesaat. Tahun ini saja, diusia yang menjelang 30 tahun Tine sudah mengumpulkan tiga gelar juara turnamen Superseries termasuk gelar bergengsi All England. Prestasi diusia senja juga ditunjukkan Zhang Ning yang meraih emas Olimpiade bulan lalu. Namun Zhang tidak bisa dikategorikan sebagai pemain terlambat karena diusia muda sudah menunjukkan kehebatannya.
Belajar dari kasus Hendrawan, Joko maupun Tine Rasmussen ternyata ada pemain-pemain tertentu mencapai kematangannya diusia yang tidak muda lagi. Seharusnya ini menjadi pendorong bagi pemain-pemain bulutangkis agar tidak patah semangat meraih prestasi. Pemain seperti Sony (24 tahun) dan Simon (23 tahun) seharusnya terus berusaha untuk mencapai prestasi terbaik. Usia bukan segalanya sebagai penentu prestasi melainkan kerja keras dan tekad kuat seperti yang pernah ditunjukkan Hendrawan dan Tine Rasmussen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar