Indonesia,negara Bulutangkis yang cinta Sepak Bola,mungkin itulah sebutan yang tepat untuk masyarakat kita. Bagaimana tidak,setiap kali ada pertandingan sepak bola,masyarakat berbondong-bondong menyaksikan. Jangankan tingkat Internasional,tingkat daerah saja tribun-tribun tempat pertandingan sering penuh. Sekarang beralih sedikit ke pemerintah Indonesia , Pemerintah rela mengeluarkan anggaran besar-besaran demi bola Indonesia,
tapi lihat bulu tangkis kita,mereka sampai pergi dengan dana sendiri untuk mengikuti pertandingan.
Seharusnya pemerintah melihat,mana olah raga yang berpotensi untuk kemajuan Indonesia,bukan yang lebih diminati Masyarakat Indonesia. Lihatlah bola nasional kita,hanya berjalan di tempat. Tapi pemerintah selalu berusaha mendongkraknya,bahkan yang sudah kita ketahui , Indonesia mau menyewa Hiddink,pelatih baru Chelsea. PSSI ingin bola Indonesia lebih maju. Tapi lihat pada bulu tangkis ? Adakah keperdulian yang begitu besarnya ?
Seharusnya pemerintah sadar,janganlah selalu berusaha mendongkrak apa yang tak pernah berhasil didongkrak. Setiap tahun hasilnya begitu-begitu saja. Semoga pemerintahan yang baru nanti dapat menyadari dan merubah semuanya.
Kembali ke kegilaan masyarakat pada bola. Lain kata dengan tingkat Internasional,banyak orang yang rela bangun tengah malam hanya untuk menyaksikan pertandingan.
Tak sedikit mereka juga melakukan taruhan.
Tapi apakah itu juga yang terjadi pada bulu tangkis ? TIDAK !
Lihat saja pagelaran Indonesia Open,tribun tak terisi penuh,beruntung pada saat pagelaran TUC,masyarakat sangat memadati tempat duduk. Yang lebih menyedihkan lagi banyak masyarakat yang lebih mengetahui pemain bola internasional daripada pemain bulu tangkis Indonesia,bahkan yang mampu menghasilkan emas di Olimpiade. Saya pernah bertanya pada seorang teman,kamu tau Markis Kido ? ,dan jawabannya "gak,siapa tuh ?". Waw,inikah keadaan Masyarakat Indonesia yang tak mencintai potensi negaranya ?. Saya juga pernah bertanya,kamu tau atlit bulu tangkis kita siapa aja ? dan jawabannya "Taufik doank". Saya cuma tersenyum dan bergumam dalam hati,"gila,parah banget".
Pernah juga saya mendengar seseorang bertanya pada temannya, "gimana hasil MU tadi malam,menang gak ?". Namun,kenapa ya tak pernah terdengar masyarakat memperhatikan bulu tangkis kita ?
Saya berfikir,mengapa orang terlalu memikirkan sepakbola. Memangnya Chelsea,MU,Barcelona,Sevilla,Tottenham,Manchester City,Arsenal,dll adalah milik kita ?
Pasti semua menjawab,"bukan".
Tapi mengapa terlalu tergila-gila dengan mereka.
Bukan melarang orang mencintai Club-club itu,hanya saja bukankah lebih baik bila kita mencintai apa yang kita miliki.
Ingat,bulu tangkislah yang selama ini lebih sering mengharumkan nama bangsa,Bulu Tangkislah yang menyelamatkan muka Indonesia di Olimpiade. Bulu Tangkislah yang selama ini lebih sering memberi gelar untuk Indonesia. Ketika sedang berjaya atlit-atlit kita dipuji,tapi begitu jatuh,mereka dihina-hina dan dianggap tak profesional. Emangnya pernah mereka-mereka itu tau bagaimana atlit-atlit itu berjuang,tau bagaimana mereka mengucurkan keringat di karpet hijau demi mengharumkan nama bangsa. Tau cuma sekedar hasil saja,tapi sudah berani mencaci maki. Lihat Maria Kristin,yang mengalami cidera lutut,lihat Vita Marissa yang mengalami cidera bahu,lihat Markis Kido yang harus disuntik karena cideranya. Apa rakyat Indonesia tau semua itu ? ,sekarang pihak PBSI ingin memindahkan atlit kita untuk sementara ke akademi militer,itu semua untuk apa ? Agar atlit kita bisa dididik lebih keras,dan ketika bertanding memiliki mental baja yang tak mudah menyerah. Agar dapat mengharumkan nama bangsa.
Sesekali lihatlah mereka bertanding,maka kita akan tau betapa berat perjuangan mereka demi mengharumkan nama bangsa.
Maju Bulu Tangkis Indonesia !
17 Maret 2009
Televisi Nasional Indonesia,Materialisme !
Banyak saluran televisi nasional kita yang sepertinya lebih perduli pada perkembangan olahraga di luar sana,lihat saja ketika program berita olah raga sedang tayang,berita apa yang pertama mereka tampilkan ? Bola ! Bola nasionalkah ? Tidak , bola internasional ! Selanjutnya,biasanya mereka menayangkan tentang tenis dunia,F1,NBA,lalu bola nasional,dan bulu tangkis jika ada.
Mana rasa nasionalismenya ? Bagaimana Masyarakat Indonesia mau mencintai bulu tangkis ? Bila ketika pertandingan saja tak ada satupun televisi nasional yang menayangkannya. Yah,paling maksimal menayangkan tulisan. Tak ada gambar. Bagaimana rakyat kita bisa tau mereka sedang berjuang mengharumkan nama bangsa diluar sana,bila televisi kita tak ada yang peduli. Mana yah nasionalisme pemilik saham televisi nasional kita ?
Mereka hanya mementingkan uang,uang,dan uang. Karena mereka menganggap masyarakat lebih menyukai bola,dari pada bulu tangkis . Artinya semua itu kembali pada masyarakat lagi. Seandainya masyarakat lebih mencintai bulu tangkis,pasti televisi itu berebut menayangkannya. Tapi bagaimana masyarakat mau mencintai,sosialisasi saja kurang !
Lihat saja ketika uero dan pagelaran indonesia open 2008. Masyarakat lebih memilih EURO. Dan televisi kita pun lebih memilih menayangkan EURO,sebut saja RCTI,rela mengeluar uang miliyaran demi hak siar EURO. Tapi adakah rela mengeluarkan dana untuk mengirim orang ke Malaysia,Jepang,atau Inggris hanya sekedar merekam pertandingan atlit kita. Atau apa susahnya semua stasiun bekerja sama,lalu lalu sepakat mengirimkan 1 team kameramen beserta wartawan ke ajang-ajang Internasional bulu tangkis untuk meliputnya,bukankah biaya akan lebih ringan bila ditanggung bersama.
Atau yang lebih mudah,apa susahnya mereka mencari potongan pertandingan di situs-situs Internasional seperti You Tube,Simply Badminton,dll.
Kita lihat televisi nasional malaysia,yang terlihat saat pertandingan All England baru-baru ini. Mereka selalu update dengan beritanya,dan menayangkannya diberita paling awal,setelah itu mereka menayangkan bola nasional mereka,dan baru bola dunia/internasional. Bahkan mereka dengan bangganya memajang foto Lee Chong Wei sebagai salah satu Back Ground ruangan berita tersebut. Sekarang,berkaca pada Malaysia,sudahkah kita melakukan hal yang sama ? Gambar siapakah yang ada di studio-studio berita olahraga kita ? Markis-Hendra ? Maria Kristin ? Sony ? Taufik. Atau mungkin Ronaldo,Federer,Balack,dan pemain internasonal lain ? Silahkan dijawab sendiri !
Mana rasa nasionalismenya ? Bagaimana Masyarakat Indonesia mau mencintai bulu tangkis ? Bila ketika pertandingan saja tak ada satupun televisi nasional yang menayangkannya. Yah,paling maksimal menayangkan tulisan. Tak ada gambar. Bagaimana rakyat kita bisa tau mereka sedang berjuang mengharumkan nama bangsa diluar sana,bila televisi kita tak ada yang peduli. Mana yah nasionalisme pemilik saham televisi nasional kita ?
Mereka hanya mementingkan uang,uang,dan uang. Karena mereka menganggap masyarakat lebih menyukai bola,dari pada bulu tangkis . Artinya semua itu kembali pada masyarakat lagi. Seandainya masyarakat lebih mencintai bulu tangkis,pasti televisi itu berebut menayangkannya. Tapi bagaimana masyarakat mau mencintai,sosialisasi saja kurang !
Lihat saja ketika uero dan pagelaran indonesia open 2008. Masyarakat lebih memilih EURO. Dan televisi kita pun lebih memilih menayangkan EURO,sebut saja RCTI,rela mengeluar uang miliyaran demi hak siar EURO. Tapi adakah rela mengeluarkan dana untuk mengirim orang ke Malaysia,Jepang,atau Inggris hanya sekedar merekam pertandingan atlit kita. Atau apa susahnya semua stasiun bekerja sama,lalu lalu sepakat mengirimkan 1 team kameramen beserta wartawan ke ajang-ajang Internasional bulu tangkis untuk meliputnya,bukankah biaya akan lebih ringan bila ditanggung bersama.
Atau yang lebih mudah,apa susahnya mereka mencari potongan pertandingan di situs-situs Internasional seperti You Tube,Simply Badminton,dll.
Kita lihat televisi nasional malaysia,yang terlihat saat pertandingan All England baru-baru ini. Mereka selalu update dengan beritanya,dan menayangkannya diberita paling awal,setelah itu mereka menayangkan bola nasional mereka,dan baru bola dunia/internasional. Bahkan mereka dengan bangganya memajang foto Lee Chong Wei sebagai salah satu Back Ground ruangan berita tersebut. Sekarang,berkaca pada Malaysia,sudahkah kita melakukan hal yang sama ? Gambar siapakah yang ada di studio-studio berita olahraga kita ? Markis-Hendra ? Maria Kristin ? Sony ? Taufik. Atau mungkin Ronaldo,Federer,Balack,dan pemain internasonal lain ? Silahkan dijawab sendiri !
Miskin Gelar,Atlit Siap Dipindahkan Ke Akademi Militer
Sebaliknya,kenyataan pahit harus diterima Indonesia,setelah gagal di All England,Indonesia kembali gagal di Swiss Open Super Series,malah kali ini lebih buruk,Indonesia sama sekali tak memiliki wakil di semifinal. Berawal dari nomor tunggal putri,Adrianti Firdasari yang kalah di tangan unggulan ke 4 asal prancis Pi Hongyan,disusul Pia Zebadiah yang harus mengakui keunggulan Megumi asal Jepang,pada hari yang sama tumbang pula Simon Santoso yang kalah dengan 3 set saat melawan Wong Choong Han,lalu Ryan Sukmawan-Yonatan Suryatama Dasuki yang kalah dari Kenichi-Kenta,dan yang terakhir pada hari itu adalah Bona Septano-M. Ahsan yang melawan pasangan asal China Guo Zhendong-Xu Chen.
Pada hari kamis,satu per satu pemain Indonesia berguguran,dimulai dari Devin-Lita yang saat itu melawan Jawara All England He Han Bin-Yu Yang,lalu Joko-Candra yang kalah 2 set dari pasangan Malaysia , Koo Keat Kien-Tan Boon Heong,disusul pasangan non pelatnas Alvent-Hendra yang dikalahkan pasangan baru Lee Yong Dae-Shin Baek Choel,ganda putri Nitya-Greysia pun ikut menelan pil pahit atas Lenna-Kamilla asal Denmark,harapan Indonesia masih ada ditangan Meiliana-Shendy,Nova-Liliyana,dan pemain non pelatnas Taufik Hidayat,namun pada hari Jum'at semua harapan itu sirna,pertama Nova-Liliyana kalah atas Zheng Bo-Ma Jin,lalu Meiliana-Shendy menyerah atas Lee Hyo Jung-Lee Won Kyung,dan yang terakhir Taufik Hidayat menyerah atas musuh bebuyutannya Lee Chong Wei.
Entah apa yang terjadi pada kubu Indonesia,sudah 4 super series di Gelar,namun satu-satunya gelar diraih Ganda Campuran Nova Widianto-Liliyana Natsir di Malaysia Open Super Series awal tahun di bulan Januari lalu. Manakah atlit Indonesia yang beberapa tahun ini sangat dibanggakan.mana Indonesia yang di tahun 2008 yang setidaknya meraih 1 gelar disetiap turnamen yang diadakan,mana atlit kita yang pantang kalah ? Apakah negeri kita harus mengikuti China yang mendidik pemain-pemainnya di asrama militer. Jawabannya mungkin ya,mengapa harus tidak bila itu dapat mendongkrak atlit kita yang entah mengapa tahun ini miskin prestasi. Dan itulah yang akan dilakukan pihak PBSI,terdengar kabar Pelatnas akan dipindah sementara di Akademi Militer Magelang. Menurut Christian Hadinata,hal itu dilakukan agar Atlit Indonesia memiliki mental yang disiplin,kuat,dan tak mau kalah. Entah kapan akan dipindahkan dan sampai kapan,hanya pihaknyalah yang tau.
Pada hari kamis,satu per satu pemain Indonesia berguguran,dimulai dari Devin-Lita yang saat itu melawan Jawara All England He Han Bin-Yu Yang,lalu Joko-Candra yang kalah 2 set dari pasangan Malaysia , Koo Keat Kien-Tan Boon Heong,disusul pasangan non pelatnas Alvent-Hendra yang dikalahkan pasangan baru Lee Yong Dae-Shin Baek Choel,ganda putri Nitya-Greysia pun ikut menelan pil pahit atas Lenna-Kamilla asal Denmark,harapan Indonesia masih ada ditangan Meiliana-Shendy,Nova-Liliyana,dan pemain non pelatnas Taufik Hidayat,namun pada hari Jum'at semua harapan itu sirna,pertama Nova-Liliyana kalah atas Zheng Bo-Ma Jin,lalu Meiliana-Shendy menyerah atas Lee Hyo Jung-Lee Won Kyung,dan yang terakhir Taufik Hidayat menyerah atas musuh bebuyutannya Lee Chong Wei.
Entah apa yang terjadi pada kubu Indonesia,sudah 4 super series di Gelar,namun satu-satunya gelar diraih Ganda Campuran Nova Widianto-Liliyana Natsir di Malaysia Open Super Series awal tahun di bulan Januari lalu. Manakah atlit Indonesia yang beberapa tahun ini sangat dibanggakan.mana Indonesia yang di tahun 2008 yang setidaknya meraih 1 gelar disetiap turnamen yang diadakan,mana atlit kita yang pantang kalah ? Apakah negeri kita harus mengikuti China yang mendidik pemain-pemainnya di asrama militer. Jawabannya mungkin ya,mengapa harus tidak bila itu dapat mendongkrak atlit kita yang entah mengapa tahun ini miskin prestasi. Dan itulah yang akan dilakukan pihak PBSI,terdengar kabar Pelatnas akan dipindah sementara di Akademi Militer Magelang. Menurut Christian Hadinata,hal itu dilakukan agar Atlit Indonesia memiliki mental yang disiplin,kuat,dan tak mau kalah. Entah kapan akan dipindahkan dan sampai kapan,hanya pihaknyalah yang tau.
Berjaya Kembali,China Rebut 3 Gelar
China kembali berjaya ,di Swiss Open China menempatkan wakilnya di 4 nomor,yaitu Tunggal Putra,Putri,Ganda Putri dan Campuran. Namun tak seperti di All England,disini China hanya meraih 3 gelar,yaitu Ganda Putri,Ganda Campuran dan Tunggal Putri. Satu-satunyanya kekalahan hanya didapat Lin Dan atas Chong Wei.Sangat disayangkan,Lin Dan yang sangat diharapkan meraih gelar harus menyerah pada tunggal no. 1 duni Lee Chong Wei,hanya dengan 2 set. Entah apa yang terjadi padanya, Lin Dan seperti kehilangan keagrisafannya,seperti kehilangan kendali,berkali-kali melalukan kesalahan.
09 Maret 2009
China Sapu Bersih Gelar All England,Pelatnas 3 Bulan Tak Sia-Siaar
Sejak Bulan Desember 2008,para pemain bulutangkis asal China absen dari berbagai kejuaraan,mereka semua digembleng di asrama selama 3 bulan secara militer. China rupanya sadar pemainnya mulai menurun. Kini di All England Super Series China menurunkan semua pemain besarnya dengan kekuatan fisik dan mental yang siap menerkam lawan. Alhasil China mendominasi semua nomor di Final,bahkan di Ganda Putri terjadi All China Final. Saat Petandingan pemain-pemain china terlihat sangat agresif. Di ganda campuran tercatat nama He Han Bin - Yu Yang yang menghadapi pemain asal korea selatan Kon Sung Yain - Hu Jun Hyun. Di awal-awal babak pertama pasangan ini selalu tertinggal hingga harus menyerah dengan 21-13,namun pada set ke 2,denan pembekalan yang matang dari pelatihnya,pasangan ini mampu meraih set ke 2 dengan skor 15-21. Sekaligus memaksa lawan untk bermain 3 set. Di babak penentuan pukulan demi pukulan mereka layangkan hingga membungkam pasangan korsel tersebut dengan memimpin 10-0,lalu mentup pertandingan dengan kemenangan 9-21. Sukses tersebut diikuti Lin Dan,menghadapi pemain nonor 1 dunia Lee Chong Wei. Ia sempat tertinggal di awal permainan,namun ia bangkit dan menutup set pertama 21-19. Pada set ke 2 Super Dan bermain sangat agresif,berkali-kaliia melakukan jumping smash , dan akhirnya peraih medali emas olimpiade beijing itu mendapat gelar dengan skor akhir 21-12.
All China Final,terjadi di ganda putri antara Zang Yawen - Zhao TingTing dan Su Ceng - Yunlei Zhao dengan di akhiri kemenangan Zhang - Zhao dengan skor 21-19,21-15.Di Tunggal Putri tertera nama Wang Yihan yang menghadapi Tinne Rasmussen,dengan pertadingan yang sangat menegangkan Wang berhasil merebut set pertama dengan skor 21-19. Namun Tinne tak mau menyerah begitu saja,peraih gelar All England 2008 itu memberikan smash demi smash dan memaksa Wang bermain 3 set dengan menutup set ke 2 23-21. Dibabak ketiga Wang yang didampingi sang pelatih peraih medali emas Olimpiade Zhang Ning tak mau membuang waktu,dan menutup set penentuan dengan kemenangan 21-11. Tak berhenti sampai disini,kejutan diberikan china lagi di nomor ganda putra,Cai Yun-Fu HJai Feng yang melawan Han Son H.- Wang Ji Man. Sempat memimpin 6-4 lalu tertinggal 8-10,dan mengejar 10-10,sebelum akhirnya menutup set 1 dengan skor 17-21. Pasangan China ini tak mau membuang-buang waktu untuk menjalani set ke tiga,dengan segala kekuatan mereka menutup set ke 2 dan sekaligus memastikan gelar ke 5 ntuk China, 21-15.
China ,merebut perhatian penonton dengan menyapu bersih 5 gelar. Tak dapat dipungkiri,kembalinya China adalah ancaman besar untuk Indonesia.
All China Final,terjadi di ganda putri antara Zang Yawen - Zhao TingTing dan Su Ceng - Yunlei Zhao dengan di akhiri kemenangan Zhang - Zhao dengan skor 21-19,21-15.Di Tunggal Putri tertera nama Wang Yihan yang menghadapi Tinne Rasmussen,dengan pertadingan yang sangat menegangkan Wang berhasil merebut set pertama dengan skor 21-19. Namun Tinne tak mau menyerah begitu saja,peraih gelar All England 2008 itu memberikan smash demi smash dan memaksa Wang bermain 3 set dengan menutup set ke 2 23-21. Dibabak ketiga Wang yang didampingi sang pelatih peraih medali emas Olimpiade Zhang Ning tak mau membuang waktu,dan menutup set penentuan dengan kemenangan 21-11. Tak berhenti sampai disini,kejutan diberikan china lagi di nomor ganda putra,Cai Yun-Fu HJai Feng yang melawan Han Son H.- Wang Ji Man. Sempat memimpin 6-4 lalu tertinggal 8-10,dan mengejar 10-10,sebelum akhirnya menutup set 1 dengan skor 17-21. Pasangan China ini tak mau membuang-buang waktu untuk menjalani set ke tiga,dengan segala kekuatan mereka menutup set ke 2 dan sekaligus memastikan gelar ke 5 ntuk China, 21-15.
China ,merebut perhatian penonton dengan menyapu bersih 5 gelar. Tak dapat dipungkiri,kembalinya China adalah ancaman besar untuk Indonesia.
Usia Emas Bisa Terlambat
Pada sebuah Talk show tentang kebangkitan bulutangkis Indonesia, pelatih Pelatnas Hendrawan mengingatkan publik untuk tidak mudah memvonis seorang atlet dianggap mentok prestasi. Hal ini berkaitan dengan prestasi tunggal putra, seperti Sony dan Simon yang belum menunjukkan prestasi besar. Hendrawan menyatakan bahwa kematangan seorang pemain pada usia berbeda-beda.
Kematangan seorang pemain yang lebih dikenal dengan usia emas dalam bulutangkis lazimnya sudah terlihat dari umur 19 sampai 23 tahun. Sebagai contoh pasangan Markis Kido / Hendra Setiawan sudah mampu meraih gelar turnamen sekelas Indonesia Open di umur 21 tahun dilanjutkan dengan juara dunia dua tahun berikutnya dan berlanjut ke emas Olimpiade. Seorang yang sangat berbakat seperti Taufik Hidayat sudah mampu merebut gelar Grand Prix pertama-nya diusia 17 tahun dan menjuarai Indonesia Open 1999 saat menginjak usia 18 tahun. Demikian halnya dengan Susi Susanti yang kelahiran 11 Februari 1971 berhasil meraih gelar dilevel senior pada tahun 1989 dengan menjuarai invitasi Piala Dunia dan Indonesia Open. Bahkan Mia Audina sudah memulai masa emasnya diumur 15 tahun ketika menjadi tulang punggung tim Uber Cup Indonesia.
Kebanyakan pemain besar dunia sudah mulai meraih prestasi tinggi sebelum usia 23 tahun. Fenomena tersebut menjadikan anggapan umum bahwa tidak berprestasi di usia-usia tersebut maka dikatakan pemain tersebut sudah mentok alias tidak mungkin berprestasi lebih tinggi lagi. Bahkan banyak pemain pelatnas harus terbuang atau memilih jalan lain karena mitos tersebut.
Mitos yang tercipta karena pengalaman masa lalu tidak bisa disalahkan. Tetapi tidak bisa menganggap semua pemain tidak berpotensi karena usia-nya tidak muda lagi. Hendrawan semasa menjadi pemain mengalami masa-masa sulit dalam mencetak prestasi Internasional. Hendrawan meraih gelar Grand Prix diatas bintang Empat pertama-nya pada usia 25 tahun saat Thailand Open 1997. Sedangkan gelar juara dunia diraih pada usia 29 tahun. “Kalau kondisi seperti pelatnas sekarang belum bisa berprestasi sebelum umur 25 pasti sudah dikeluarkan”, Ungkap Hendrawan. Pada kesempatan yang sama, Joko Suprianto mengungkapkan hal serupa. Untungnya saat itu, Joko Suprianto bisa bertahan walaupun prestasinya telat dibandingkan rekan-rekannya seangkatannya seperti Ardi Wiranata, Alan Budi Kusuma dan Hermawan Susanto. Apalagi dibandingkan dengan rekannya yang lebih muda Hariyanto Arbi. Seandainya Joko Supriyanto menyerah saat ketika itu maka kita tidak mungkin mengenalnya sebagai sang juara dunia. Dengan tekad yang kuat pemain-pemain seperti Joko dan Hendrawan bisa berprestasi maksimal walaupun diusia terlambat untuk memulai prestasi.
Kasus lain yang menguatkan bahwa usia bukanlah rintangan untuk menapaki level atas prestasi ditunjukkan oleh pemain putri Denmark Tine Rasmussen. Pemain kelahiran 21 Juli 1979 itu menghancurkan tembok putri-putri China dengan meraih gelar juara Japan Superseries 2007. Sebelumnya nama Tine kurang dikenal karena hanya mampu juara diturnamen-turnamen kecil. Hebatnya kemunculan Tine bukanlah prestasi sesaat. Tahun ini saja, diusia yang menjelang 30 tahun Tine sudah mengumpulkan tiga gelar juara turnamen Superseries termasuk gelar bergengsi All England. Prestasi diusia senja juga ditunjukkan Zhang Ning yang meraih emas Olimpiade bulan lalu. Namun Zhang tidak bisa dikategorikan sebagai pemain terlambat karena diusia muda sudah menunjukkan kehebatannya.
Belajar dari kasus Hendrawan, Joko maupun Tine Rasmussen ternyata ada pemain-pemain tertentu mencapai kematangannya diusia yang tidak muda lagi. Seharusnya ini menjadi pendorong bagi pemain-pemain bulutangkis agar tidak patah semangat meraih prestasi. Pemain seperti Sony (24 tahun) dan Simon (23 tahun) seharusnya terus berusaha untuk mencapai prestasi terbaik. Usia bukan segalanya sebagai penentu prestasi melainkan kerja keras dan tekad kuat seperti yang pernah ditunjukkan Hendrawan dan Tine Rasmussen.
Kematangan seorang pemain yang lebih dikenal dengan usia emas dalam bulutangkis lazimnya sudah terlihat dari umur 19 sampai 23 tahun. Sebagai contoh pasangan Markis Kido / Hendra Setiawan sudah mampu meraih gelar turnamen sekelas Indonesia Open di umur 21 tahun dilanjutkan dengan juara dunia dua tahun berikutnya dan berlanjut ke emas Olimpiade. Seorang yang sangat berbakat seperti Taufik Hidayat sudah mampu merebut gelar Grand Prix pertama-nya diusia 17 tahun dan menjuarai Indonesia Open 1999 saat menginjak usia 18 tahun. Demikian halnya dengan Susi Susanti yang kelahiran 11 Februari 1971 berhasil meraih gelar dilevel senior pada tahun 1989 dengan menjuarai invitasi Piala Dunia dan Indonesia Open. Bahkan Mia Audina sudah memulai masa emasnya diumur 15 tahun ketika menjadi tulang punggung tim Uber Cup Indonesia.
Kebanyakan pemain besar dunia sudah mulai meraih prestasi tinggi sebelum usia 23 tahun. Fenomena tersebut menjadikan anggapan umum bahwa tidak berprestasi di usia-usia tersebut maka dikatakan pemain tersebut sudah mentok alias tidak mungkin berprestasi lebih tinggi lagi. Bahkan banyak pemain pelatnas harus terbuang atau memilih jalan lain karena mitos tersebut.
Mitos yang tercipta karena pengalaman masa lalu tidak bisa disalahkan. Tetapi tidak bisa menganggap semua pemain tidak berpotensi karena usia-nya tidak muda lagi. Hendrawan semasa menjadi pemain mengalami masa-masa sulit dalam mencetak prestasi Internasional. Hendrawan meraih gelar Grand Prix diatas bintang Empat pertama-nya pada usia 25 tahun saat Thailand Open 1997. Sedangkan gelar juara dunia diraih pada usia 29 tahun. “Kalau kondisi seperti pelatnas sekarang belum bisa berprestasi sebelum umur 25 pasti sudah dikeluarkan”, Ungkap Hendrawan. Pada kesempatan yang sama, Joko Suprianto mengungkapkan hal serupa. Untungnya saat itu, Joko Suprianto bisa bertahan walaupun prestasinya telat dibandingkan rekan-rekannya seangkatannya seperti Ardi Wiranata, Alan Budi Kusuma dan Hermawan Susanto. Apalagi dibandingkan dengan rekannya yang lebih muda Hariyanto Arbi. Seandainya Joko Supriyanto menyerah saat ketika itu maka kita tidak mungkin mengenalnya sebagai sang juara dunia. Dengan tekad yang kuat pemain-pemain seperti Joko dan Hendrawan bisa berprestasi maksimal walaupun diusia terlambat untuk memulai prestasi.
Kasus lain yang menguatkan bahwa usia bukanlah rintangan untuk menapaki level atas prestasi ditunjukkan oleh pemain putri Denmark Tine Rasmussen. Pemain kelahiran 21 Juli 1979 itu menghancurkan tembok putri-putri China dengan meraih gelar juara Japan Superseries 2007. Sebelumnya nama Tine kurang dikenal karena hanya mampu juara diturnamen-turnamen kecil. Hebatnya kemunculan Tine bukanlah prestasi sesaat. Tahun ini saja, diusia yang menjelang 30 tahun Tine sudah mengumpulkan tiga gelar juara turnamen Superseries termasuk gelar bergengsi All England. Prestasi diusia senja juga ditunjukkan Zhang Ning yang meraih emas Olimpiade bulan lalu. Namun Zhang tidak bisa dikategorikan sebagai pemain terlambat karena diusia muda sudah menunjukkan kehebatannya.
Belajar dari kasus Hendrawan, Joko maupun Tine Rasmussen ternyata ada pemain-pemain tertentu mencapai kematangannya diusia yang tidak muda lagi. Seharusnya ini menjadi pendorong bagi pemain-pemain bulutangkis agar tidak patah semangat meraih prestasi. Pemain seperti Sony (24 tahun) dan Simon (23 tahun) seharusnya terus berusaha untuk mencapai prestasi terbaik. Usia bukan segalanya sebagai penentu prestasi melainkan kerja keras dan tekad kuat seperti yang pernah ditunjukkan Hendrawan dan Tine Rasmussen.
Djoko: Masalah Dana Masih Jadi Kendala Pembinaan
MAKASSAR, SABTU - Masalah dana menjadi kendala pembinaan bulu tangkis nasional maupun daerah. Di samping itu, profesionalitas atlit menjadi tantangan pengurus PBSI saat ini, ungkap ketua umum PB PBSI Djoko Santoso.
Hal tersebut dikatakannya usai melantik pengurus provinsi (Pengprov) PBSI Sulsel periode 2008-2013 di Makassar, Sabtu (14/2).
"Tantangan PBSI sangat luas dan besar, seperti kedisiplinan, profesionalitas, teknologi hingga sistem pembinaannya dan anggaran," jelasnya.
Menurut dia, teknologi bulu tangkis kurang memadai, begitupun dengan sistem pembinaan masih membutuhkan dukungan anggaran yang besar. Dia mengharapkan, dukungan pembibitan atlet dari sejumlah daerah bisa merata di wilayah Indonesia.
"Kita menginginkan pembibitan yang merata di berbagai daerah, sebab sekarang ini masih terfokus di Jawa," ungkapnya.
PBSI punya target, ke depannya pengembangan dan pembinaan atlit lebih difokuskan di kawasan timur Indonesia. Tetapi rencana itu masih terbentur pada dana.
"Turnamen perlu diintensifkan di daerah, karena dari situ akan kelihatan bibit-bibit muda yang akan menjadi pemain internasional," kata Djoko yang juga Panglima Jenderal TNI.
Hal tersebut dikatakannya usai melantik pengurus provinsi (Pengprov) PBSI Sulsel periode 2008-2013 di Makassar, Sabtu (14/2).
"Tantangan PBSI sangat luas dan besar, seperti kedisiplinan, profesionalitas, teknologi hingga sistem pembinaannya dan anggaran," jelasnya.
Menurut dia, teknologi bulu tangkis kurang memadai, begitupun dengan sistem pembinaan masih membutuhkan dukungan anggaran yang besar. Dia mengharapkan, dukungan pembibitan atlet dari sejumlah daerah bisa merata di wilayah Indonesia.
"Kita menginginkan pembibitan yang merata di berbagai daerah, sebab sekarang ini masih terfokus di Jawa," ungkapnya.
PBSI punya target, ke depannya pengembangan dan pembinaan atlit lebih difokuskan di kawasan timur Indonesia. Tetapi rencana itu masih terbentur pada dana.
"Turnamen perlu diintensifkan di daerah, karena dari situ akan kelihatan bibit-bibit muda yang akan menjadi pemain internasional," kata Djoko yang juga Panglima Jenderal TNI.
Bona Ngotot Ingin Tampil
BIRMINGHAM, KAMIS - Pemain ganda putra Indonesia Bona Septano yang berpasangan dengan Mohammad Ahsan dalam pertandingan ronde kedua mengalami cedera kaki saat bertanding melawan pemain Denmark John Skovgaard/Kesper Faust Henrikse dengan 12-21, 21-17, 21-14.
Menurut Bona cidera tersebut memang langsung mengganggu penampilannya hanya saja di set ketiga mereka cukup beruntung karena meninggalkan lawan dalam posisi angka yang cukup jauh. Usai pertandingan Bona langsung diperiksa petugas medis pertandingan didampingi masseur tim Indonesia Sugiat. "Memang sakit tapi setelah diperiksa tidak ada urat yang putus, mungkin hanya keseleo karena posisi jatuh yang salah," kata Bona.
Dan Bona berharap bisa tetap tampil menghadapi pasangan Korea unggulan kelima Lee Yong Dae/Shin Baek Choei yang menang melawan pasangan Belanda Jorrit De Ruiter/Jurgen Wouters 21-11, 21-7. "Saya akan berusaha tampil," kata Bona kepada Antara. Bona/Ahsan menjadi satu satunya pasangan ganda putra Indonesia yang tersisa pada turnamen ini.
Sementara itu pelatih tim ganda putra Indonesia, Sigit Pamungkas mengatakan meskipun Bona mengalami cidera tetapi ia tetap semangat untuk terus tampil. Diakuinya untuk menghadapi lawannya di perempat final, pasangan Bona/Ahsan mempunyai kesempatan 50-50 dalam menghadapi pemain Korea dan mengharapkan anak asuhnya bisa mengambil setiap kesempatan yang ada dan berani menyerang.
Diakuinya hal tersebut memang tidak mudah karena pemain Korea sering bermain panjang dan untuk meredamnya Bona/Ahsan harus berani bermain di depan.
Menurut Bona cidera tersebut memang langsung mengganggu penampilannya hanya saja di set ketiga mereka cukup beruntung karena meninggalkan lawan dalam posisi angka yang cukup jauh. Usai pertandingan Bona langsung diperiksa petugas medis pertandingan didampingi masseur tim Indonesia Sugiat. "Memang sakit tapi setelah diperiksa tidak ada urat yang putus, mungkin hanya keseleo karena posisi jatuh yang salah," kata Bona.
Dan Bona berharap bisa tetap tampil menghadapi pasangan Korea unggulan kelima Lee Yong Dae/Shin Baek Choei yang menang melawan pasangan Belanda Jorrit De Ruiter/Jurgen Wouters 21-11, 21-7. "Saya akan berusaha tampil," kata Bona kepada Antara. Bona/Ahsan menjadi satu satunya pasangan ganda putra Indonesia yang tersisa pada turnamen ini.
Sementara itu pelatih tim ganda putra Indonesia, Sigit Pamungkas mengatakan meskipun Bona mengalami cidera tetapi ia tetap semangat untuk terus tampil. Diakuinya untuk menghadapi lawannya di perempat final, pasangan Bona/Ahsan mempunyai kesempatan 50-50 dalam menghadapi pemain Korea dan mengharapkan anak asuhnya bisa mengambil setiap kesempatan yang ada dan berani menyerang.
Diakuinya hal tersebut memang tidak mudah karena pemain Korea sering bermain panjang dan untuk meredamnya Bona/Ahsan harus berani bermain di depan.
Tanpa Wakil PB Djarum
Berbeda dengan tahun lalu, kiprah pebulutangkis nonpelatnas asal PB Djarum tak akan terjadi tahun ini. Padahal biasanya PB Djarum rajin mengirim pemainnya.
''Atlet kami yang levelnya di super series sudah dipanggil ke pelatnas. Kami kini berkonsentrasi untuk pembinaan pemain muda lagi. Kalaupun mengirim atlet mungkin ke turnamen sekelas GP ke bawah,'' jelas Agus Dwi Santoso, pelatih PB Djarum.
Atlet Djarum yang dipanggil ke pelatnas Cipayung adalah ganda putra Rian Sukmawan/Yonatan Suryatama, ganda putri Shendy Puspa/Meiliana Juhari, serta ganda campuran Fran Kurniawan, pasangan Shendy. Bisa dibilang tinggal tunggal putra Andre Kurniawan yang berpengalaman di level super series milik PB Djarum. Andre kini disiapkan untuk turun di GP India.
Sementara itu, Kamis (26/2), PB Djarum mengikat kerja sama dengan perusahaan peralatan bulutangkis Flypower. Atlet PB Djarum akan memakai perlengkapan Flypower pada periode Maret-Desember 2009.
''Bagi atlet, dukungan ini sangat membantu dalam hal kebutuhan peralatan, sedangkan bagi Flypower menjadikan atlet kami sebagai media promosi,” jelas Yopi Rasidi, Ketua PB Djarum.
“Kami menyediakan raket, sepatu, kaus, celana, dan kebutuhan bulutangkis lainnya” ungkap Hariyanto Arbi, pendiri Flypower.
Hariyanto adalah atlet produk PB Djarum. Gelar juara di nomor tunggal putra All England diraih Hariyanto pada 1993 dan 1994.
“Pada 8 seri sirkuit nasional dan 5 seri swasta nasional, atlet PB Djarum akan menggunakan produk Flypower,” tutur Fung Permadi, manajer tim PB Djarum. (win/erly)
(Sumber: Bolanews.com)
''Atlet kami yang levelnya di super series sudah dipanggil ke pelatnas. Kami kini berkonsentrasi untuk pembinaan pemain muda lagi. Kalaupun mengirim atlet mungkin ke turnamen sekelas GP ke bawah,'' jelas Agus Dwi Santoso, pelatih PB Djarum.
Atlet Djarum yang dipanggil ke pelatnas Cipayung adalah ganda putra Rian Sukmawan/Yonatan Suryatama, ganda putri Shendy Puspa/Meiliana Juhari, serta ganda campuran Fran Kurniawan, pasangan Shendy. Bisa dibilang tinggal tunggal putra Andre Kurniawan yang berpengalaman di level super series milik PB Djarum. Andre kini disiapkan untuk turun di GP India.
Sementara itu, Kamis (26/2), PB Djarum mengikat kerja sama dengan perusahaan peralatan bulutangkis Flypower. Atlet PB Djarum akan memakai perlengkapan Flypower pada periode Maret-Desember 2009.
''Bagi atlet, dukungan ini sangat membantu dalam hal kebutuhan peralatan, sedangkan bagi Flypower menjadikan atlet kami sebagai media promosi,” jelas Yopi Rasidi, Ketua PB Djarum.
“Kami menyediakan raket, sepatu, kaus, celana, dan kebutuhan bulutangkis lainnya” ungkap Hariyanto Arbi, pendiri Flypower.
Hariyanto adalah atlet produk PB Djarum. Gelar juara di nomor tunggal putra All England diraih Hariyanto pada 1993 dan 1994.
“Pada 8 seri sirkuit nasional dan 5 seri swasta nasional, atlet PB Djarum akan menggunakan produk Flypower,” tutur Fung Permadi, manajer tim PB Djarum. (win/erly)
(Sumber: Bolanews.com)
Fransiska Ratnasari Gabung Djarum
KUDUS - Kekuatan PB Djarum bertambah. Dua hari lalu (26/2), mantan atlet pelatnas Cipayung asal klub Jaya Raya, Jakarta, Fransiska Ratnasari, memilih bergabung dengan klub bulutangkis terbesar di Kota Kretek tersebut.
Sebab, atlet yang akrab disapa Nana itu tak dipanggil lagi ke pelatnas. ''Iya, saya bergabung di PB Djarum sejak Rabu. Jadi, belum ada sepekan di sini,'' ujarnya.
Saat ditanya Radar Kudus (Jawa Pos Group) soal kepindahannya ke PB Djarum, Nana memberikan beberapa alasan. Salah satunya, PB Djarum dianggap lebih sering mengirim atlet ke berbagai turnamen. Tidak hanya di dalam negeri, tapi di luar negeri.
Meski baru bergabung, dia mengaku sudah kenal dengan beberapa atlet binaan PB Djarum. Di antaranya, atlet tunggal wanita Maria Elfira, Maria Febe, Rosaria Yusfin Pungkasari, serta Febby Angguni. Mereka beberapa kali bertemu di sejumlah turnamen. Bahkan, Febby sempat menjadi rekan Nana di pelatnas Cipayung. (aji/jpnn/diq)
(Sumber: Jawapos.co.id)
Sebab, atlet yang akrab disapa Nana itu tak dipanggil lagi ke pelatnas. ''Iya, saya bergabung di PB Djarum sejak Rabu. Jadi, belum ada sepekan di sini,'' ujarnya.
Saat ditanya Radar Kudus (Jawa Pos Group) soal kepindahannya ke PB Djarum, Nana memberikan beberapa alasan. Salah satunya, PB Djarum dianggap lebih sering mengirim atlet ke berbagai turnamen. Tidak hanya di dalam negeri, tapi di luar negeri.
Meski baru bergabung, dia mengaku sudah kenal dengan beberapa atlet binaan PB Djarum. Di antaranya, atlet tunggal wanita Maria Elfira, Maria Febe, Rosaria Yusfin Pungkasari, serta Febby Angguni. Mereka beberapa kali bertemu di sejumlah turnamen. Bahkan, Febby sempat menjadi rekan Nana di pelatnas Cipayung. (aji/jpnn/diq)
(Sumber: Jawapos.co.id)
Tak Sekesar Teken Atau Keluar
Kepengurusan PBSI periode 2008-2012 yang dipimpin Ketua Umum Djoko Santoso memiliki tugas berat, yakni meneruskan tradisi prestasi cabang unggulan Indonesia. Apalagi jika mengingat krisis global sedang menggoyang semua faktor tanpa terkecuali.
Untuk mengantisipasi krisis, sejumlah langkah perubahan ditempuh PBSI. Salah satu cara yang dipilih adalah dipangkasnya jumlah pemain yang dipanggil ke pelatnas. Cara lain adalah tidak dipenuhinya permintaan pemain yang menginginkan kenaikan nilai kontrak.
Namun, perubahan memang tak pernah mudah. Dari dua hal ini, langkah kedua yang akhirnya memicu kontroversi karena beberapa pemain sempat mengancam untuk keluar meski akhirnya kembali ke pelatnas. Tapi, ada pula yang akhirnya benar-benar mengundurkan diri dan memilih untuk tetap berkarier secara mandiri.
Di tengah seretnya regenerasi, keluarnya beberapa pemain senior yang sudah dipanggil adalah hal yang merugikan. Namun, PBSI agaknya tak mau memperlihatkan preseden buruk jika memberikan perkecualian dengan menuruti permintaan kenaikan kontrak.
Saya tak berniat untuk berpihak pada siapa pun. Pemain pasti menginginkan adanya kenaikan kontrak. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik adalah hal yang manusiawi. Jika sudah menghabiskan sebagian besar waktu hidup dan total menggantungkan harapan pada bulutangkis, tentu pahit rasanya jika saat negosiasi kontrak hanya mendengar kata-kata pilihan ''teken atau keluar''.
Sebaliknya, pengurus PBSI juga memiliki tugas yang tak ringan. Mereka dituntut untuk membuat atlet menghasilkan prestasi dan tetap tak kehabisan dana, seperti yang sudah terjadi di akhir masa kepengurusan lalu.
Perbedaan kepentingan yang rawan menimbulkan konflik memang biasa terjadi. Tapi, yang perlu diingat adalah hubungan yang saling membutuhkan antara PBSI dan pemain. Hubungan kedua pihak ini rasanya layak dianalogikan seperti orangtua dan anak.
Kalau mau jujur, gejolak yang terjadi ini berpangkal dari masalah komunikasi. Sebagai pihak yang berperan seperti orangtua, pengurus PBSI seharusnya bisa lebih bijak dan bersahabat untuk menyampaikan penolakan terhadap permintaan pemain.
Sebaliknya, pemain juga harus bisa mengukur kemampuan prestasi dan nilai jualnya. Jangan hanya berani meminta kenaikan nilai kontrak, tapi tak berani menerima tantangan untuk berprestasi melebihi target.
Tolok Ukur AE-Swiss
Sayang memang komunikasi tak berjalan lancar sehingga beberapa pemain yang sebetulnya masih dibutuhkan akhirnya mundur dari pelatnas. Nasi sudah menjadi bubur. Langkah PBSI harus tetap didukung. Setidaknya, ada sisi positif yang bisa diambil dari gonjang-ganjing pada awal 2009.
Kepergian pemain yang memutuskan mundur tak perlu diratapi lagi. Justru sebaliknya, harus dijadikan alat pemacu untuk menghasilkan pemain yang lebih baik.
Turnamen Super Series All England (3-8 Maret) dan Swiss (10-15 Maret) akan menjadi ujian pertama buat PBSI. Kebetulan pemain yang baru saja mundur seperti Taufik Hidayat, Hendra Gunawan, dan Alvent Yulianto turun di All England dan Swiss.
Hasil yang mereka capai setidaknya bisa menjadi tolok ukur buat pemain pelatnas dan pengurus PBSI. Jika Taufik cs. dan eks pemain pelatnas lain memetik hasil yang lebih bagus, artinya latihan lebih keras harus dilakukan pasukan Cipayung.
Tapi, jika skuad Cipayung tetap bisa berprestasi lebih baik, juga tak perlu besar kepala. Pasalnya di luar sana masih banyak lawan yang lebih tangguh yang pasti akan menghadang.
(Sumber: Bolanews.com)
Untuk mengantisipasi krisis, sejumlah langkah perubahan ditempuh PBSI. Salah satu cara yang dipilih adalah dipangkasnya jumlah pemain yang dipanggil ke pelatnas. Cara lain adalah tidak dipenuhinya permintaan pemain yang menginginkan kenaikan nilai kontrak.
Namun, perubahan memang tak pernah mudah. Dari dua hal ini, langkah kedua yang akhirnya memicu kontroversi karena beberapa pemain sempat mengancam untuk keluar meski akhirnya kembali ke pelatnas. Tapi, ada pula yang akhirnya benar-benar mengundurkan diri dan memilih untuk tetap berkarier secara mandiri.
Di tengah seretnya regenerasi, keluarnya beberapa pemain senior yang sudah dipanggil adalah hal yang merugikan. Namun, PBSI agaknya tak mau memperlihatkan preseden buruk jika memberikan perkecualian dengan menuruti permintaan kenaikan kontrak.
Saya tak berniat untuk berpihak pada siapa pun. Pemain pasti menginginkan adanya kenaikan kontrak. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik adalah hal yang manusiawi. Jika sudah menghabiskan sebagian besar waktu hidup dan total menggantungkan harapan pada bulutangkis, tentu pahit rasanya jika saat negosiasi kontrak hanya mendengar kata-kata pilihan ''teken atau keluar''.
Sebaliknya, pengurus PBSI juga memiliki tugas yang tak ringan. Mereka dituntut untuk membuat atlet menghasilkan prestasi dan tetap tak kehabisan dana, seperti yang sudah terjadi di akhir masa kepengurusan lalu.
Perbedaan kepentingan yang rawan menimbulkan konflik memang biasa terjadi. Tapi, yang perlu diingat adalah hubungan yang saling membutuhkan antara PBSI dan pemain. Hubungan kedua pihak ini rasanya layak dianalogikan seperti orangtua dan anak.
Kalau mau jujur, gejolak yang terjadi ini berpangkal dari masalah komunikasi. Sebagai pihak yang berperan seperti orangtua, pengurus PBSI seharusnya bisa lebih bijak dan bersahabat untuk menyampaikan penolakan terhadap permintaan pemain.
Sebaliknya, pemain juga harus bisa mengukur kemampuan prestasi dan nilai jualnya. Jangan hanya berani meminta kenaikan nilai kontrak, tapi tak berani menerima tantangan untuk berprestasi melebihi target.
Tolok Ukur AE-Swiss
Sayang memang komunikasi tak berjalan lancar sehingga beberapa pemain yang sebetulnya masih dibutuhkan akhirnya mundur dari pelatnas. Nasi sudah menjadi bubur. Langkah PBSI harus tetap didukung. Setidaknya, ada sisi positif yang bisa diambil dari gonjang-ganjing pada awal 2009.
Kepergian pemain yang memutuskan mundur tak perlu diratapi lagi. Justru sebaliknya, harus dijadikan alat pemacu untuk menghasilkan pemain yang lebih baik.
Turnamen Super Series All England (3-8 Maret) dan Swiss (10-15 Maret) akan menjadi ujian pertama buat PBSI. Kebetulan pemain yang baru saja mundur seperti Taufik Hidayat, Hendra Gunawan, dan Alvent Yulianto turun di All England dan Swiss.
Hasil yang mereka capai setidaknya bisa menjadi tolok ukur buat pemain pelatnas dan pengurus PBSI. Jika Taufik cs. dan eks pemain pelatnas lain memetik hasil yang lebih bagus, artinya latihan lebih keras harus dilakukan pasukan Cipayung.
Tapi, jika skuad Cipayung tetap bisa berprestasi lebih baik, juga tak perlu besar kepala. Pasalnya di luar sana masih banyak lawan yang lebih tangguh yang pasti akan menghadang.
(Sumber: Bolanews.com)
Langganan:
Postingan (Atom)