22 Oktober 2008

Maria Kristin Y.

Maria Kristin

Yulianti baru berusia tujuh tahun sewaktu Susi Susanti mencatatkan diri

dalam sejarah olimpiade. Di Barcelona 1992, Susi menjadi atlet bulu

tangkis pertama di dunia yang merebut emas olimpiade sekaligus meraih

emas olimpiade pertama bagi Indonesia.

Saya tahu Ci Susi dapat emas, tetapi tidak terlalu peduli. Waktu itu saya tidak suka bulu tangkis,” ujar Maria.

Tak

pernah terbayang jika 16 tahun kemudian dia naik ke podium olimpiade

dan menyaksikan bendera Merah Putih dikibarkan di cabang yang dulu

tidak disukainya itu.

Dia memang belum seperti Susi yang berdiri

di tengah, Maria berdiri di tepi dengan perolehan sebuah perunggu.

Namun, hasil itu jauh melampaui perkiraan semua pihak, bahkan dirinya

sendiri.

Maria meraih perunggu setelah memenangi lima dari enam

pertandingan dalam total waktu 321 menit, atau 53,5 menit tiap

pertandingan. Empat dari lima kemenangannya diraih dengan rubber game

atas empat pemain yang memiliki peringkat dunia lebih baik dari dirinya.

Mereka

adalah Juliane Schenk (Jerman, peringkat ke-13, babak pertama), Tine

Rasmussen (Denmark, peringkat ke-4, babak 16 besar), Saina Nehwal

(India, peringkat ke-18, perempat final), dan Lu Lan (China, peringkat

ke-2, perebutan perunggu).

Maria, peringkat ke-21 dunia, hanya

kalah di semifinal dari Zhang Ning, sang juara bertahan, yang kemudian

kembali menjadi juara olimpiade.

Semua ini bermula di Tuban,

sebuah kabupaten di pantai utara Jawa Timur. Dorongan kuat dari

ayahnya, Yuli Purnomo, membuat Maria kecil mulai berlatih bulu tangkis

dalam usia enam tahun. Bulu tangkis adalah olahraga kegemaran sang

ayah, seorang petugas penyuluh pertanian lapangan yang juga melatih

bulu tangkis untuk anak-anak.

”Sebenarnya saya tak suka bulu

tangkis, lebih senang melihat bola voli. Tapi, Bapak mendorong saya

untuk main bulu tangkis,” ujar Maria.

Maria ditolak masuk klub

Djarum Kudus pada usia 10 tahun karena badannya terlalu kecil. Ia

meneruskan latihannya di klub JPNN Jember. Dia mencoba lagi masuk

Djarum Kudus dan diterima tahun 1998. Di klub ini, kecintaannya pada

bulu tangkis mulai tumbuh.

”Saya masuk sekolah siang, pagi selalu

berlatih dan ikut kejuaraan taruna. Lama-lama saya mulai senang dan

berniat serius di bulu tangkis daripada latihan dan sekolah berantakan

dua-duanya,” tutur Maria.

Karier Maria berlanjut hingga dia

dipanggil masuk Pelatnas Cipayung tahun 2002. Belum lagi berusia 18

tahun, Maria sudah memperkuat tim Piala Sudirman Indonesia pada tahun

2003. Setelah itu Maria berkutat di turnamen level satellite, dengan

gelar internasional pertama direbutnya di Malaysia Satellite 2004.

Menyambut tantangan

Kegagalan

tim Piala Uber pada kualifikasi Piala Uber di Jaipur, India, Februari

2006, sempat mengancam posisi Maria di pelatnas. PBSI pun mencanangkan

program bersih-bersih dan memberi ultimatum kepada para pemain putri

untuk tampil lebih baik atau keluar dari pelatnas.

Maria

menyambut tantangan ini dengan dua gelar juara turnamen satellite di

Singapura dan Surabaya, serta hasil terbaik dibanding pemain putri

lainnya pada tur Eropa ke tiga negara, Luksemburg, Denmark, dan

Belanda. Posisinya sebagai pemain nomor satu tak tergeser meski di

turnamen level superseries prestasinya belum beranjak dari delapan

besar.

Keadaan berubah setelah kejutan tim Piala Uber Indonesia

pada putaran final di Istora Senayan, Jakarta, Mei lalu. Dengan Maria

sebagai tunggal pertama, Indonesia di luar dugaan lolos ke final

sebelum menyerah dari juara bertahan, China. Sukses ini membangkitkan

kepercayaan diri pada Maria.

Sebulan berselang, dia mencatat

prestasi terbaik di superseries dengan menjadi runner up Indonesia

Terbuka. Dalam perjalanan ke final, Maria mengalahkan tiga pemain

kelahiran China yang peringkatnya jauh lebih tinggi darinya, yaitu Yao

Jie (Belanda, saat itu peringkat ke-18), Zhou Mi (Hongkong,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar