Maria Kristin
Yulianti baru berusia tujuh tahun sewaktu Susi Susanti mencatatkan diri
dalam sejarah olimpiade. Di Barcelona 1992, Susi menjadi atlet bulu
tangkis pertama di dunia yang merebut emas olimpiade sekaligus meraih
emas olimpiade pertama bagi Indonesia.
Saya tahu Ci Susi dapat emas, tetapi tidak terlalu peduli. Waktu itu saya tidak suka bulu tangkis,” ujar Maria.
Tak
pernah terbayang jika 16 tahun kemudian dia naik ke podium olimpiade
dan menyaksikan bendera Merah Putih dikibarkan di cabang yang dulu
tidak disukainya itu.
Dia memang belum seperti Susi yang berdiri
di tengah, Maria berdiri di tepi dengan perolehan sebuah perunggu.
Namun, hasil itu jauh melampaui perkiraan semua pihak, bahkan dirinya
sendiri.
Maria meraih perunggu setelah memenangi lima dari enam
pertandingan dalam total waktu 321 menit, atau 53,5 menit tiap
pertandingan. Empat dari lima kemenangannya diraih dengan rubber game
atas empat pemain yang memiliki peringkat dunia lebih baik dari dirinya.
Mereka
adalah Juliane Schenk (Jerman, peringkat ke-13, babak pertama), Tine
Rasmussen (Denmark, peringkat ke-4, babak 16 besar), Saina Nehwal
(India, peringkat ke-18, perempat final), dan Lu Lan (China, peringkat
ke-2, perebutan perunggu).
Maria, peringkat ke-21 dunia, hanya
kalah di semifinal dari Zhang Ning, sang juara bertahan, yang kemudian
kembali menjadi juara olimpiade.
Semua ini bermula di Tuban,
sebuah kabupaten di pantai utara Jawa Timur. Dorongan kuat dari
ayahnya, Yuli Purnomo, membuat Maria kecil mulai berlatih bulu tangkis
dalam usia enam tahun. Bulu tangkis adalah olahraga kegemaran sang
ayah, seorang petugas penyuluh pertanian lapangan yang juga melatih
bulu tangkis untuk anak-anak.
”Sebenarnya saya tak suka bulu
tangkis, lebih senang melihat bola voli. Tapi, Bapak mendorong saya
untuk main bulu tangkis,” ujar Maria.
Maria ditolak masuk klub
Djarum Kudus pada usia 10 tahun karena badannya terlalu kecil. Ia
meneruskan latihannya di klub JPNN Jember. Dia mencoba lagi masuk
Djarum Kudus dan diterima tahun 1998. Di klub ini, kecintaannya pada
bulu tangkis mulai tumbuh.
”Saya masuk sekolah siang, pagi selalu
berlatih dan ikut kejuaraan taruna. Lama-lama saya mulai senang dan
berniat serius di bulu tangkis daripada latihan dan sekolah berantakan
dua-duanya,” tutur Maria.
Karier Maria berlanjut hingga dia
dipanggil masuk Pelatnas Cipayung tahun 2002. Belum lagi berusia 18
tahun, Maria sudah memperkuat tim Piala Sudirman Indonesia pada tahun
2003. Setelah itu Maria berkutat di turnamen level satellite, dengan
gelar internasional pertama direbutnya di Malaysia Satellite 2004.
Menyambut tantangan
Kegagalan
tim Piala Uber pada kualifikasi Piala Uber di Jaipur, India, Februari
2006, sempat mengancam posisi Maria di pelatnas. PBSI pun mencanangkan
program bersih-bersih dan memberi ultimatum kepada para pemain putri
untuk tampil lebih baik atau keluar dari pelatnas.
Maria
menyambut tantangan ini dengan dua gelar juara turnamen satellite di
Singapura dan Surabaya, serta hasil terbaik dibanding pemain putri
lainnya pada tur Eropa ke tiga negara, Luksemburg, Denmark, dan
Belanda. Posisinya sebagai pemain nomor satu tak tergeser meski di
turnamen level superseries prestasinya belum beranjak dari delapan
besar.
Keadaan berubah setelah kejutan tim Piala Uber Indonesia
pada putaran final di Istora Senayan, Jakarta, Mei lalu. Dengan Maria
sebagai tunggal pertama, Indonesia di luar dugaan lolos ke final
sebelum menyerah dari juara bertahan, China. Sukses ini membangkitkan
kepercayaan diri pada Maria.
Sebulan berselang, dia mencatat
prestasi terbaik di superseries dengan menjadi runner up Indonesia
Terbuka. Dalam perjalanan ke final, Maria mengalahkan tiga pemain
kelahiran China yang peringkatnya jauh lebih tinggi darinya, yaitu Yao
Jie (Belanda, saat itu peringkat ke-18), Zhou Mi (Hongkong,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar